Merekalah Pahlawan!
"Apa kabar, Pak?"
"Alhamdulillah, baik, Pak."
"Warungnya bagaimana?"
"Sudah saya tutup."
"Kapan?"
"Kira-kira dua bulan lalu, Pak."
Senyum ia berikan saat saya menyapa. Pak Gatot, begitu kami biasa menyebutnya. Ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang karyawan rendah di Jakarta yang tengah menanti hari-hari pensiunnya. Seperti banyak orang lain setingkatnya di ibu kota, tentu berat beban hidup yang harus dipikulnya. Tapi, ia tak menampakkan wajah susah. Dengan segala kesederhanaannya, ia menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang cukup tenteram.
Pak Gatot bukan orang yang suka mengeluh. Situasi apa pun akan ia hadapi dengan tenang dan dengan segala keterbatasannya. Termasuk, soal rendahnya gaji di kantor yang ia terima. Ia lebih memilih berusaha mengatasi kesulitan ketimbang mengeluh berkepanjangan.
Dini hari, jauh sebelum waktu Subuh, ia sudah bergerak. Ketika semua orang masih terlelap, ia bersama istrinya telah pergi ke pasar. Mereka berbelanja. Bukan untuk keperluan dapur, tetapi untuk dijual. Ia membuka warung di rumah untuk melayani kebutuhan warga sekitar. Selesai membantu istri, ia baru berangkat kerja.
Enam atau tujuh tahun kehidupan semacam itu telah Pak Gatot jalani. Warung sederhana itu telah membantu kehidupannya. "Paling tidak, kami tidak perlu belanja untuk dapur," ujarnya. Itu yang menjelaskan mengapa keluarga sederhana itu tetap tenteram. Maka, sungguh saya tak menduga ia menutup warung yang, kendati sekadarnya, telah berjalan baik selama bertahun-tahun.
"Mengapa warungnya ditutup?"
"Modalnya nggak kuat."
"Selama ini kan berjalan baik. Jadi, mengapa tutup? Karena harga-harga naik atau pembelinya berkurang?"
"Bukan, Pak. Pembelinya kan tetangga-tetangga. Mereka ngutang dan nggak mampu bayar. Saya nggak bisa menagih karena hidup mereka juga susah."
Saya terdiam. Saya tahu angka kemiskinan masih tinggi. Orang yang hidup susah juga masih sangat banyak. Tapi, kenyataan itu sama sekali tak terduga. Baru saja tersiar angka kemiskinan menurun. Perekonomian sepertinya juga bergerak maju. Mal-mal terus bertumbuhan dan semakin ramai. Pasar kendaraan, telepon genggam, serta barang elektronik lain melaju pesat. Tapi, pada saat bersamaan, secara diam-diam kehidupan sangat banyak orang semakin sulit.
Apakah cerita itu cuma sebuah kasus yang kebetulan? Tampaknya tidak. Teman sekantor Pak Gatot menunjukkan itu walau dari posisi sebaliknya. Tinggal di sebuah desa di Jawa Barat, ia setiap hari harus menempuh sekurangnya 150 km pulang balik ke Jakarta. Tempatnya bekerja sebagai office boy. Berat beban hidupnya sedikit teringankan oleh tukang sayur tempat istrinya rutin berutang. Tapi, itu tiga bulan lalu. Kini, keadaannya lebih sulit. Tukang sayur itu juga tak mampu lagi menanggung beban kemiskinan orang-orang sekitarnya. Di luar itu, rasanya semakin banyak dan semakin banyak lagi orang yang membutuhkan bantuan. Bahkan, untuk kehidupan sehari-hari yang sekadarnya.
Potret itu terjadi di negeri yang semestimya subur makmur ini. Negeri yang kenyataannya kesulitan menanggung beban hidup masyarakatnya. Secara tatanan, negara harus mampu menanggung kehidupan, bahkan menyejahterakan seluruh warganya. Namun, justru orang-orang kecil, seperti Pak Gatot, para tukang sayur, dan pedagang kecil yang jumlahnya ratusan ribu, meringankan beban jutaan orang lain yang hidup lebih susah. Pak Gatot-Pak Gatot itu oleh seorang kawan diistilahkan "telah menyubsidi negara" dengan ikut menanggung beban negara yang seharusnya bukan tugas mereka. Kontribusi mereka tak akan dicatat atau tercatat oleh siapa pun (kecuali malaikat) karena mereka memang bukan siapa-siapa. Tapi, merekalah pahlawan, sebagaimana orang-orang susah di sekitarnya juga pahlawan yang terus berjuang menyelamatkan keluarga masing-masing.
Pada hari-hari sekarang, saat harga-harga kebutuhan harian berkejaran naik, potret Pak Gatot dan para pahlawan semestinya mampu menusuk kesadaran diri paling dalam. Boleh jadi kita adalah pemimpin atau pemilik kewenangan, baik besar maupun kecil, dalam menata negara ini. Apa yang sudah kita perbuat agar mewujudkan terpenuhinya hak-hak rakyat untuk mendapat penghidupan yang wajar?
Sumber: Republika
Sumber: Cerita Motivasi & Inspirasi
0 Response to "Merekalah Pahlawan!"
Post a Comment