Ber-Qurban, benarkah hanya untuk orang kaya?
Ada dua kejadian yang cukup menggugah hati saya. Dan kalau ditarik ternyata ada benang merah yang saling terkait menghubungkannya. Kejadian pertama, saya baru selesai membaca buku difference for excellence karangan Ashoff Murtadha. Di dalam buku tersebut ada kata-kata yang cukup membuat saya terhenyak. Setidaknya, ini sudah mementahkan tulisan saya yang berjudul Antara Kultum dan Rule Model, salah satu artikel posting saya yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu. Berikut saya kutip sedikit isi kata-kata dari buku tersebut:
“Untuk menolong si miskin, seseorang tidak perlu menunggu jadi kaya. Untuk menolong orang susah, ia tidak perlu menunggu hidupnya mudah. Untuk menolong orang bodoh, ia tidak perlu menunggu menjadi pintar dulu. Untuk melakukan kebaikan, ia tidak harus menunggu segala sesuatu pada dirinya sempurna dulu. Justru penyempurnaan akan dicapai saat kebaikan itu dijalankan. Penyempurnaan itulah yang akan terus berkembang bersamaan dengan berkembangnya amal kebaikan.”
Duh, saya benar-benar merasa tersindir, sedih dan nelangsa banget membaca kutipan kata-kata tersebut. Jujur, saya termasuk orang yang belum bisa berbuat banyak untuk bisa membantu orang lain. Saya selalu punya seratus satu alasan tiap kali hati ini tergerak untuk berniat membantu sesama. Ah, semoga anda tidak seperti saya, orang yang terlalu banyak berpikir kalau diminta berbuat kebajikan untuk membantu sesama.
Kejadian yang kedua, ini terkait dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban, hari raya agama Islam yang akan dirayakan seluruh umat muslim, salah satunya termasuk saya, pada tanggal 27 November 2009 nanti. Ada seorang kawan hari Jumat lalu curhat kepada saya. Dulu dia berpikir-- pikiran yang sama seperti pendapat saya – bahwa seorang muslim yang diwajibkan berQurban adalah hanya orang yang sudah mampu saja. Dan definisi mampu disini gambarannya, bukan orang seperti dia yang masih menempuh kuliah, uang masih nodong minta orang tua setiap bulannya, tapi pastilah seseorang yang sudah bekerja dan paling tidak, kaya sehingga mampu untuk berQurban.
Suatu waktu di jaman kuliahnya dulu kawan saya menceritakan berniat akan berQurban karena disuruh oleh orang tuanya. Singkat cerita dia kemudian hunting ke desa-desa untuk mencari kambing buat Qurban. Akhirnya tiba lah dia di sebuah desa di kabupaten Bantul Yogyakarta. Dia mendapati seorang anak desa yatim miskin karena sudah ditinggal mati bapaknya. Anak tersebut punya beberapa ekor kambing yang siap dijual untuk dipakai berQurban. Kawan saya kemudian menceritakan berniat membeli satu ekor kambing yang paling besar diantara kambing lainnya. Tetapi anak tersebut menolak menjualnya. Teman saya kemudian bersikeras mencoba membujuk anak tersebut agar mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Tapi anak tersebut tetap bersikeras menolak dan mengatakan: “Silahkan Bapak pilih kambing saya yang lainnya, Pak asal jangan kambing yang paling besar ini.”
Teman saya kemudian menawar: “Berapa harga yang kamu minta untuk kambing yang paling besar ini, Dik? Tolong sebutkan berapa, saya tidak akan nawar dan berapa pun harga yang kau minta saya akan bayar,” tegas kawan saya sedikit memaksa.
Anak tersebut tetap bersikukuh tidak mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Selidik punya selidik kawan saya jadi makin penasaran apa yang menjadi alasannya sehingga anak tersebut kekeh, tidak mau menjual kambingnya. Dan inilah alasan anak itu, yang membuat kawan saya jadi tersentak kaget mendengar jawabanya. “Bapak, kambing ini tidak saya jual karena mau saya pakai buat Qurban saya sendiri.”
Betapa terkejutnya kawan saya tersebut mendengar jawaban polos anak tersebut. Anak yang masih kecil, melarat, yang baru menginjak umur belasan tahun, dan masih duduk di bangku kelas 5 SD, yang untuk hidup sehari-hari saja susah, kok ya mau berQurban? Apalagi ini kambing yang paling besar pula, yang tentu saja bagi kebanyakan orang yang mau sedekah tentu merasa eman-eman untuk memakainya buat Qurban. Mending dijual aja buat makan atau biaya hidup lainnya. Toh, dia masih bisa Qurban dengan kambing lainnya yang lebih kecil. Deg! Kawan saya tersebut langsung menangis terharu, tersentuh hatinya mendengar jawaban polos anak tersebut. Jawaban, yang sekali lagi sudah mementahkan pendapat saya dan pendapat dia juga, bahwa berQurban hanya dilakukan oleh orang-orang kaya dan dewasa saja.
Dari dua kejadian ini, setidaknya sudah ada dua kejadian yang merupakan sebuah teguran tuhan kepada saya bahwa untuk tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, seharusnya saya tidak punya alasan lagi untuk menolak berQurban karena berbagai macam alasan.
Semoga cerita ini bisa sedikit menggugah hati anda. Dan harapan saya, meskipun anda yang baca tulisan ini bukan seorang muslim, terlebih seandainya iya, semoga anda bukan termasuk orang seperti saya, yang lupa kepada penciptaNya dan tidak mau berbuat baik membantu meringankan beban sesama, dengan salah satunya mau berQurban buat orang miskin di hari raya Idul Adha. Amin.
Selamat menyambut dan merayakan hari raya Idul Qurban, kawan!
Sumber : Diptara blog
Sumber: Cerita Motivasi & Inspirasi
0 Response to "Ber-Qurban, benarkah hanya untuk orang kaya?"
Post a Comment