Belajar dari Ibrahim

Nabi Ibrahim, Qurban, Cerita, Motivasi, Inspirasi, Renungan, Belajar

Kehidupan rumah tangga tanpa kehadiran seorang anak rasanya kurang sempurna, begitu kata orang. Mungkin benar juga. Kehadiran seorang anak dapat mengobati kelelahan fisik sepulang kerja, sebagai penyemangat dalam kehidupan berumah tangga, untuk mewariskan keturunan, dan lain sebagainya. Yang jelas, anak memang merupakan sebuah anugerah sekaligus anak yang harus dijaga oleh kedua orang tuanya. Maka dengan berusaha sekuat tenaga, para pasangan suami istri rela untuk melakukan segala hal demi untuk mendapatkan seorang anak keturunan. Mulai dari doa siang malem, ikutan terapi ini itu pada dokter kandungan maupun pengobatan alternatif, atau apapun itu. Dan akhirnya, setelah perjuangan lelah dan melelahkan, usaha itu membuahkan hasil. Dengan rahmat Allah Swt, pasangan suami istri tersebut dianugerahi seorang anak. Seorang anak yang ditunggu-tunggu selama puluhan tahun akan segera lahir ke dunia untuk menggenapkan separuh kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga. Dan ketika dia lahir bahagia rasanya, semua perhatian akan tercurah untuknya. Sebagai orang tua, kita akan berusaha mendidiknya dengan penuh cinta.

Namun, ketika dia telah berusia anak-anak (yang kata orang lagi lucu-lucunya), ada yang ingin mengambil anak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, yang meminta tersebut adalah Tuhan yang menganugerahkan anak tersebut, sebagai bentuk pengorbanan kita kepada-Nya. Waah, apa jadinya? Inilah yang dipikirkan seorang Nabi sekaligus Rasul yang hanif, penghulu kita yang Mulia Nabi Ibrahim Saw. Betapa pusingnya beliau dikala itu. Setelah lama menunggu untuk memperoleh anak, dan akhirnya ketika Allah memberinya seorang anak lelaki bernama Nabi Ismail, Allah ingin mengambilnya kembali dengan cara yang sangat dramatis. Ismail harus dikorbankan untuk Allah dengan cara menyembelihnya. Masya Allah.. Jika hal itu terjadi pada saat sekarang, mungkin kita akan berfikir seperti apa yang dikatakan kaumnya, “hanya orang gila yang tega membunuh anaknya sendiri”.

Begitulah, perintah Tuhan untuk segera menyembelih anaknya sebagai bentuk pengorbanan itu tidak datang sekali melalui sebuah mimpi. Mulanya, Nabi Ibrahim menganggap mimpinya hanya bunga tidur atau permainan syetan. Tetapi perintah tersebut datang berulang kali, hingga mantaplah Ibrahim untuk segera menunaikan perintah Tuhan menyembelih putra yang sangat dicintainya. Maka diutarakanlah maksud tersebut kepada istri dan anaknya. Istrinya, Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi ini hanyalah permainan tidur belaka, maka janganlah engkau melakukannya. Akan tetapi apabila mimpi tersebut merupakan wahyu Tuhan yang harus ditaati, maka aku rela untuk berserah diri kepada Tuhan yang sangat pengasih dan penyayang terhadap hamba-Nya. Sebagai seorang anak, Ismail pun memberikan pendapatnya. Terlebih lagi dialah nantinya yang akan menjadi objek, sebagai orang yang akan dikorbankan untuk menggenapkan wahyu Tuhan. “Ayahku, apabila ini merupakan wahyu yang harus di taati, maka aku pun rela untuk disembelih”

Subhanallah… Mana ada seorang istri terlebih lagi anak yang berani dengan keikhlasan hati untuk rela berkorban demi menunaikan perintah Tuhan yang menurut kebanyakan manusia sungguh sangat tidak masuk akal. Tapi Ibrahim dan keluarganya telah membuktikan jika mereka adalah orang-orang yang lurus (hanif) yang rela mengorbankan segala yang mereka miliki untuk memenuhi kewajibannya sebagai Rasul utusan Tuhan. Yang menarik adalah jawaban Ismail, anaknya. Sungguh merupakan jawaban yang sangat menakjubkan. Coba bayangkan, jika zaman sekarang tiba-tiba ada seseorang ayah yan ditugaskan Tuhan untuk menyembelih anak, apakah jawaban mereka? Apakah sebagai anak kita akan rela untuk disembelih? Jawaban Ismail tadi mencerminkan bahwa dirinya merupakan sosok anak sholeh idaman keluarga. Seperti yang selalu dipinta Ibrahim dalam doa-doa panjangnya, “Robbi hablii minnash shoolihiiim Anugerahkan aku anak yang sholeh”. Yupp, anak yang sholeh, bukan anak yang pintar, anak yang hebat atau apapun. Jika Ismail ditakdirkan menjadi anak yang pintar tetapi tidak sholeh, mungkin saja beliau akan menyangkal ayahnya dan mengabaikan perintah Tuhan dengan segudang alasan yang masuk akal. Namun syukurlah, Ismail memang cerminan bagi anak-anak sholeh yang rela mengorbankan apapun dari dirinya untuk diserahkan kepada Tuhan, sama seperti ayahnya. Nabi Ibrahim sangat cinta kepada putra dan istrinya, tetapi lebih cinta kepada Tuhannya…

Dan diakhir cerita (seperti yang sama-sama kita ketahui), Allah pun mengganti pengorbanan Ibrahim dan keluarganya dengan yang lebih baik. Allah akhirnya mengganti Ismail dengan seekor biri-biri dari surga untuk disembelih. Dan tradisi ini terus berlanjut seperti yang biasa kita lakukan pada perayaan Idul Adha dan hari Tasyrik yakni menyembelih hewan qurban sebagai bentuk ibadah dan pengorbanan manusia kepada Tuhannya.

Membaca kisah ini sambil membayangkan adegan demi adegan peristiwa penyembelihan tersebut sungguh membuat saya terharu. Sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia. Dan sejatinya Nabi Ibrahim memang hanya dicoba dengan cobaaan terberat dalam hidupnya. Relakah beliau menyerahkan sesuatu yang sangat dicintainya untuk dikembalikan kepada Sang Pemilik Sesuatu. Nabi Ibrahim sangat mencintai anaknya, Ismail. Dan ketika Allah memintanya kembali, apakah dia rela untuk menyerahkan anaknya dengan keikhlasan hati? Ternyata, Nabi Ibrahim pun akhirnya berhasil melewati tahapan ini dengan sempurna dan memberikan kebahagiaan berlipat ganda dari sebelumnya. Inilah hakikat pelaksanaan qurban yang setiap tahun kita laksanakan. Menyerahkan apapun yang kita cintai untuk Tuhan. Ya, kita harusnya banyak belajar dari (kisah) Ibrahim, belajar taqwa kepada Allah. Seperti lirik lagu ciptaan Trie Utamai yang pernah dinyanyikan oleh Snada tersebut.
Semoga…

Sumber:

0 Response to "Belajar dari Ibrahim"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel