Sindrom “Tuturut Munding”
Sering kali kita mendengar istilah tuturut munding dilontarkan oleh orang tua kepada anak yang suka meniru tingkah laku orang tuanya. Istilah tuturut munding memang sangat populer di kalangan masyarakat Sunda. Dalam arti sederhana, tuturut munding berarti suka ikut-ikutan meniru tingkah laku orang lain, tidak mempunyai pendirian tetap.
Meniru merupakan perilaku manusiawi. Meniru adalah awal dari suatu proses pembelajaran. Sangat penting terutama pada saat memasuki masa-masa usia belia. Sampai sekarang mungkin kita tidak akan bisa melafalkan bunyi kata “mama” kalau di waktu bayi kita tidak menirunya dari orang tua. Mungkin kita tidak akan bisa menulis dan membaca kalau tidak meniru ajaran bapak ibu guru kita. Harus diakui, tanpa meniru kita tidak akan bisa apa-apa.
Meniru tidak selamanya benar. Seringkali apa yang ditiru tidak mencontohkan hal yang pantas untuk ditiru. Saya teringat dengan cerita salah seorang kawan. Saat duduk di bangku SMP, dia jarang sekali masuk sekolah. Dalam seminggu, paling hanya dua atau tiga kali ia menginjakkan kaki di kelas. Sampai akhirnya ia pun dipanggil bapak wali kelas. Ketika ditanya kenapa ia sering bolos sekolah, maka dengan enteng ia pun menjawab, “Kansaya ngikutin Bapak!”
Cerita di atas adalah contoh nyata tuturut munding. Sindrom tuturut munding telah menjalar di hampir setiap sendi kehidupan masyarakat. Perilaku para pelajar yang sering bolos pada jam pelajaran seakan berguru pada para anggota dewan yang sering absen dalam rapat paripurna atau para tersangka kasus korupsi yang mangkir dari proses pemeriksaan polisi. Bentrokan antar pemuda yang adu mulut dan memilih jalan kekerasan tidak jauh berbeda dengan perang para tokoh elit di panggung perpolitikan. Dan yang paling hangat –atau paling “panas”, aksi asusila remaja yang seperti berkaca pada perilaku amoral yang dipertontonkan para selebritas idola.
Seperti berguru pada orang tidak berilmu, belajar pada orang yang kurang ajar, seperti itulah sindrom tuturut munding. Kalau sudah begini mau diapakan lagi. Apa si munding yang harus disalahkan? Munding atau kerbau hanyalah hewan tambun yang doyan makan. Ia pekerja keras namun sering dijadikan perumpamaan dari sifat dungu karena amat penurut dan jarang sekali ngeyel kalau disuruh majikan. Para kerbau patut berbangga diri karena telah sukses menjadi trendsetter dan menjadikan manusia sebagai follower. Kalau saya menjadi kerbau (ini hanya perumpamaan saja), mungkin saya akan tertawa terbahak-bahak seperti layaknya filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre menertawakan esensi manusia dalam keabsurditasan.
Tuturut munding seperti paradigma pemanusiaan kerbau dan pengerbauan manusia. Tentunya manusia tidak ingin disamakan dengan kerbau. Meski sama-sama dari kelas mamalia, kerbau dan manusia jelas-jelas berbeda. Kerbau memiliki empat lambung sedangkan manusia hanya satu. Kerbau bisa menghabiskan berkilo-kilo gram rumput dalam satu kali makan sedangkan manusia bisa menghabiskan sebakul nasi pun jarang –kecuali orang yang benar-benar kelaparan. Tetapi di balik semua perbedaan itu, ternyata kerbau dan manusia memiliki satu persamaan, yakni sama-sama ingin selalu ikut-ikutan.
Krisis sosial yang berlangsung sekarang ini seperti siklus peniruan yang terus berulang. Segala kebobrokan mentalitas dan moral terus melenggang tidak terkendali. Media tidak henti-hentinya memberitakan berbagai kenistaan di negeri ini. Koruptor, penjinah, pembunuh dan penganiaya makin kita akrabi di layar televisi.
Menurut pandangan eksistensialisme yang dikemukakan Sartre, pada dasarnya manusia tidak memiliki sifat alami. Esensi manusia dibentuk oleh kreasi sosial yang dipengaruhi lingkungan. Tidak ada peran stereotip dalam diri manusia sehingga ketika krisis sosial semakin membabi buta dipertontonkan ke khalayak luas –terutama pada generasi muda, maka sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada pola pikir dan cara pandang mereka.
Generasi muda telah kehilangan sosok panutan untuk diteladani. Kami telah kehilangan sosok pemimpin yang menginspirasi. Ketika “para kerbau” itulah yang terpaksa muncul ke permukaan, maka sindrom yang dibawanya pun seakan datang menulari. Kerbau harusnya diangon bukan dituruti. Sudah selayaknya kita menjadi pengembala bukan malah digembalai.
Menyimak tingkah laku kerbau jadi-jadian membuat kepala pusing. Saya jadi rindu memandikan kerbau beneran. Waktu masih kecil, kalau liburan sekolah tiba, saya suka pergi ke rumah Abah di Sumedang. Saya suka ikut memandikan kerbau-kerbau kesayangan Abah di sungai. Adasatu petuah dari Abah yang selalu saya ingat sampai sekarang, “Tong sok tuturut munding bisi jadi munding nyaanan!” (Jangan suka ikut-ikutan kayak kerbau nanti bisa jadi kerbau beneran!).
0 Response to "Sindrom “Tuturut Munding”"
Post a Comment